TOKYO, Sep 23 (News On Japan) - Meskipun sebagian besar orang yang berkunjung ke makam saat ekuinoks musim gugur di Jepang terbiasa dengan kremasi sebagai bentuk pemakaman standar, semakin banyak lokasi yang kini menawarkan pemakaman tradisional di dalam tanah. Pergeseran ini mencerminkan meningkatnya permintaan, terutama dari warga asing, dan semakin banyak pula dari orang Jepang.
Sebuah pemakaman di Honjo, Prefektur Saitama, sekitar dua jam berkendara dari pusat Tokyo, mulai menerima pemakaman enam tahun lalu. Pemakaman Kudus Honjo Kodama mengenakan biaya 300.000 yen per petak untuk pemakaman tanpa kremasi. Perwakilan Sojo Hayakawa menjelaskan bahwa keputusan itu diambil sebagai tanggapan atas banyaknya permintaan dari warga asing yang tinggal di Jepang. "Membantu orang asing juga bagian dari tugas kami. Ketika orang mengakhiri hidupnya dan beranjak ke dunia berikutnya, sudah sepatutnya mereka dilepas dengan baik," kata Hayakawa.
Di Prefektur Miyagi, Gubernur Yoshihiro Murai sempat mempertimbangkan pembangunan pemakaman, dengan alasan meningkatnya permintaan dari warga asing maupun warga Jepang. Namun, setelah muncul kekhawatiran tentang dampak lingkungan, prefektur tersebut minggu lalu membatalkan rencana tersebut. "Setelah pertimbangan matang, saya memutuskan untuk menarik kembali usulan kajian pemakaman," ujar Murai.
Keisuke Sato, profesor di Universitas Sophia yang meneliti etika seputar kematian, menjelaskan bahwa pemakaman historisnya adalah norma global, termasuk di Jepang. "Benar bahwa pemakaman lebih umum di seluruh dunia, dan Jepang juga dahulu melakukannya. Namun pada era Meiji, muncul kekhawatiran tentang kekurangan lahan dan risiko kesehatan masyarakat, yang menyebabkan peralihan cepat ke kremasi," jelas Sato.
Pemakaman tidak dilarang secara hukum di Jepang, tetapi memerlukan izin dari pemerintah daerah dan harus dilakukan di pemakaman yang ditunjuk. Saat ini, hanya sekitar 10 pemakaman di seluruh negeri yang menerima pemakaman, termasuk yang ada di Honjo. Permintaan kini datang tidak hanya dari warga asing tetapi juga dari warga Jepang, dengan permintaan dari Miyagi, Niigata, dan Okinawa.
Hayakawa mengatakan bahwa pada 2019, pemakaman ini melakukan sekitar delapan pemakaman, tetapi jumlah itu meningkat stabil hingga lebih dari 40 hanya pada tahun ini. Selama tujuh tahun terakhir, totalnya telah mencapai 169, di antaranya 16 orang Jepang. Banyak dari pelamar Jepang yang menikah dengan warga asing. "Cukup banyak orang Jepang yang ingin kembali ke tanah. Baru saja, sepasang suami istri Jepang memesan petak," tambahnya.
Pemakaman ini kini sedang menyiapkan pemakaman keluarga, dengan petak yang dirancang untuk menampung hingga enam orang bersama-sama. Beberapa keluarga Jepang sudah melakukan reservasi, dengan empat pemesanan hingga September 2025. Dengan pengembangan lebih lanjut, lokasi ini dapat menampung hingga 3.000 pemakaman di masa depan.
Profesor Sato menekankan bahwa ketika Jepang menghadapi penurunan populasi dan semakin sedikit penerus untuk merawat makam keluarga, praktik pemakaman menjadi semakin beragam. "Dari pemakaman alami hingga pemakaman pohon, kini ada banyak pilihan. Dalam konteks itu, pemakaman hanyalah salah satu opsi," katanya, seraya menambahkan bahwa masyarakat juga harus mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang muncul dari keberagaman tersebut.
Source: FNN