TOKYO, Oct 16 (News On Japan) - Jepang sedang menghadapi krisis kurang tidur yang parah, dengan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 18 triliun yen setiap tahun akibat penurunan produktivitas, menurut sebuah studi oleh RAND Corporation.
Masalah ini semakin mendapat perhatian, dengan pejabat pemerintah dan perusahaan sama-sama mengakui perlunya tindakan. Perdana Menteri Ishiba baru-baru ini membahas masalah ini dalam pidato kebijakan, menyoroti kekhawatiran nasional terkait kurangnya tidur yang memadai.
Pakar seperti Yoshikuni Egawa, seorang profesor di Universitas Ritsumeikan, menunjukkan bahwa budaya Jepang, yang sering kali lebih menghargai usaha daripada istirahat, memperburuk masalah ini. Banyak pekerja membanggakan kemampuan mereka untuk berfungsi dengan tidur yang minimal, yang berkontribusi pada masalah luas "presenteeism," di mana karyawan hadir secara fisik tetapi tidak sepenuhnya produktif.
Sebagai tanggapan, beberapa perusahaan sedang mengembangkan strategi untuk mengurangi dampak kurang tidur. Inisiatif termasuk kolaborasi antara industri dan akademi, seperti kemitraan Arinamin Pharmaceutical dengan Universitas Tsuba untuk meneliti hubungan antara kelelahan dan tidur. Selain itu, munculnya solusi "sleep tech," seperti sistem bertenaga AI yang dirancang untuk meningkatkan kualitas tidur, semakin berkembang. Perusahaan seperti Daikin dan Kyocera berada di garis depan dalam menciptakan produk yang bertujuan untuk meningkatkan istirahat dan pemulihan.
Seiring dengan semakin besarnya dampak ekonomi dari kurang tidur, semakin banyak perusahaan yang menyadari pentingnya menangani masalah ini, tidak hanya untuk kesejahteraan karyawan tetapi juga untuk menjaga produktivitas dan mencegah kerugian finansial lebih lanjut.
Source: テレ東BIZ