News On Japan

Mengapa Jumlah Migran Tiongkok di Osaka Meningkat dengan Cepat

OSAKA, May 08 (News On Japan) - Dengan ekonomi Tiongkok yang terus mengalami penurunan berkepanjangan dan tekanan dari tarif Amerika Serikat yang dimulai sejak era Trump, semakin banyak warga Tiongkok berusaha meninggalkan negara mereka. Di antara berbagai tujuan, Jepang—khususnya Osaka—mengalami lonjakan jumlah imigran Tiongkok. Apa yang menjadi penyebab di balik tren ini?

Menurut jurnalis Masutomo Takeshi, yang mengkhususkan diri dalam isu-isu Tiongkok dan Asia Tenggara, istilah "run" (ルン) mulai digunakan untuk menggambarkan para migran baru ini. Berasal dari kata bahasa Inggris “run”, istilah ini mencerminkan keinginan untuk melarikan diri—terutama dari memburuknya kondisi dalam negeri di Tiongkok. Lockdown akibat COVID di Shanghai pada tahun 2022 menjadi titik balik utama, mendorong gelombang orang yang ingin pergi. Mereka yang memilih Jepang sebagai tempat pelarian dikenal sebagai “run-ri” (lari ke Jepang), dan Masutomo bahkan telah menulis buku dengan judul tersebut.

Masutomo menjelaskan bahwa semakin banyak orang merasa pesimistis terhadap kehidupan di Tiongkok. Secara politik, otoritarianisme semakin menguat. Secara ekonomi, negara tersebut tetap stagnan. Secara sosial, persaingan sangat ketat, terutama dalam pendidikan, dan kekhawatiran mengenai kebebasan berbicara semakin meningkat.

Jepang telah muncul sebagai tujuan favorit. Pada akhir tahun 2024, sekitar 870.000 warga negara Tiongkok tinggal di Jepang—jumlah tertinggi dalam sejarah. Meskipun angka ini sempat menurun selama pandemi, kini telah meningkat kembali secara stabil. Penduduk Tiongkok kini menjadi kelompok warga asing terbesar di Jepang, melampaui warga Vietnam (sekitar 630.000) dan Korea (sekitar 410.000).

Mayoritas dari mereka yang bermigrasi melalui “run” berasal dari latar belakang kelas menengah ke atas dan berada di rentang usia 30 hingga 50 tahun. Karena belajar bahasa Jepang menjadi lebih sulit seiring bertambahnya usia, mereka sering membentuk jaringan dan komunitas khusus orang Tiongkok. Bahkan tanpa kefasihan dalam bahasa Jepang, banyak yang tetap memilih pindah karena melihat Jepang sebagai tempat tinggal yang nyaman dan hemat biaya.

Masutomo menekankan daya tarik kuat Jepang: dibandingkan dengan negara maju lainnya, kualitas hidup di Jepang tinggi sementara biaya hidup harian tetap relatif rendah karena lemahnya nilai yen. Jaminan sosial, layanan kesehatan, dan khususnya pendidikan dianggap sebagai daya tarik utama.

Tekanan dalam sistem pendidikan Tiongkok sangat tinggi. Ujian masuk universitas yang dikenal sebagai "gaokao" adalah salah satu ujian satu kali paling berat di dunia, yang menentukan seluruh masa depan seorang siswa. Hanya 58% siswa sekolah menengah pertama yang melanjutkan ke sekolah menengah atas reguler melalui ujian “zhongkao”, dan hanya 35% siswa SMA yang masuk universitas empat tahun. Bahkan setelah lulus, hanya 45,4% lulusan universitas yang mendapatkan pekerjaan pada tahun 2023—kontras dengan Jepang.

Dengan kompetisi akademik dan karier yang begitu ketat, banyak keluarga Tiongkok mulai melirik ke luar negeri. Di Jepang, anak-anak memiliki lebih banyak waktu luang, pilihan pendidikan yang lebih luas, dan lebih sedikit ujian yang menentukan masa depan mereka.

Orang tua Tiongkok juga menginvestasikan jauh lebih banyak dalam pendidikan dibandingkan orang tua Jepang. Sementara rumah tangga Jepang rata-rata menghabiskan 2,2% dari pendapatan tahunan untuk pendidikan, rumah tangga Tiongkok menghabiskan sekitar 7,9%—sekitar 3,4 kali lipat. Satu keluarga yang disebutkan dalam artikel ini menghabiskan 12 juta yen untuk kelas tambahan dan kompetisi. Tingkat investasi ini bukanlah hal yang luar biasa. Karena sistem jaminan sosial di Tiongkok yang lemah, anak-anak sering dipandang sebagai jaminan keuangan jangka panjang, sehingga orang tua mengutamakan kesuksesan pendidikan mereka.

Di Jepang, bahkan setelah datang tanpa mengetahui bahasanya, banyak anak dapat beradaptasi dengan cepat. Salah satu contohnya adalah seorang gadis yang pindah ke Osaka dua tahun lalu dan awalnya tidak bisa berbicara bahasa Jepang. Dalam waktu satu tahun, ia meraih semua nilai tertinggi dan menjadi juara dua dalam lomba tingkat sekolah. Keluarganya menghitung bahwa untuk masuk universitas ternama di Tiongkok dibutuhkan 100% usaha, sedangkan di Jepang mereka hanya perlu 70% dan masih memiliki waktu untuk kegiatan ekstrakurikuler dan pengalaman yang lebih luas.

Di sekolah bimbingan belajar di Jepang, jumlah siswa Tiongkok meningkat pesat. Di Argus Prep School, sekitar 30% dari 100 siswa adalah warga Tiongkok. Sekolah tersebut membuka ruang kelas khusus untuk siswa Tiongkok pada Juni 2023, dan banyak dari mereka menargetkan universitas-universitas top Jepang seperti Universitas Tokyo dan Universitas Kyoto.

Orang tua Tiongkok melihat Jepang sebagai negara di mana anak-anak mereka dapat meraih kesuksesan akademik sambil menikmati kualitas hidup yang lebih baik. Di Tiongkok, bahkan waktu istirahat makan siang sering digunakan untuk belajar di bawah pengawasan guru. Sebaliknya, siswa yang sama di Jepang kini dapat menikmati kegiatan klub dan waktu santai, sambil tetap mengikuti pelajaran dengan baik.

Osaka, khususnya, telah mengalami peningkatan paling dramatis. Jumlah penduduk Tiongkok di Osaka meningkat menjadi 57.396 orang pada tahun 2024—lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2010. Titik balik terjadi pada tahun 2016, ketika kota tersebut meluncurkan program "Minpaku Zona Khusus" (penyewaan jangka pendek) di bawah penetapan zona strategis nasional. Program ini memberikan fleksibilitas lebih besar dibandingkan batas penyewaan 180 hari per tahun. Saat ini, 95% dari seluruh operasi minpaku zona khusus di Jepang berlokasi di Osaka, dan sekitar 40% dioperasikan oleh pengusaha Tiongkok.

Pusat kota mengalami peningkatan nyata dalam jumlah penduduk Tiongkok. Para pendatang lama biasanya bisa berbicara bahasa Jepang dan terintegrasi ke dalam komunitas lokal. Sebaliknya, pendatang baru cenderung tetap berada dalam lingkaran sesama warga Tiongkok karena kendala bahasa, terutama bagi mereka yang berusia 30 hingga 50 tahun.

Bagi banyak orang, mengelola properti minpaku telah menjadi jalan menuju izin tinggal. Jepang menawarkan visa Manajer Bisnis bagi pengusaha yang menginvestasikan setidaknya 5 juta yen dan mempekerjakan setidaknya dua orang—sering kali pasangan mereka sendiri. Ini relatif longgar dibandingkan dengan kebijakan visa investor di Amerika Serikat dan Eropa, yang kini cenderung diperketat atau dihapuskan.

Masutomo melaporkan beberapa kasus di mana warga negara Tiongkok menerima visa bisnis Jepang mereka hanya dalam waktu satu bulan.

Singkatnya, telah terbentuk sebuah ekosistem: semakin banyak warga Tiongkok yang ingin keluar dari kondisi sulit di negara asal mereka, dan banyak yang tertarik ke Jepang demi pendidikan anak-anak mereka. Untuk pindah secara legal, mereka mendirikan bisnis penyewaan jangka pendek, dan Osaka—dengan aturan minpaku yang ramah—menjadi pilihan yang jelas.

Hasilnya membawa keuntungan sekaligus tantangan. Di satu sisi, masuknya investor dan pengusaha Tiongkok—yang dijuluki "run money"—memberikan vitalitas bagi perekonomian Jepang. Di sisi lain, warga melaporkan perselisihan terkait penyewaan jangka pendek, dan peningkatan pembelian properti menyebabkan kenaikan harga di beberapa kawasan. Persaingan dalam pendidikan juga semakin intensif.

Warga negara Tiongkok tidak dapat membeli tanah secara penuh di negara mereka sendiri—mereka hanya menyewanya selama 60 tahun. Namun di Jepang, warga asing dapat memiliki properti. Hal ini pun menjadi daya tarik tambahan.

Apakah Jepang dapat atau seharusnya melanjutkan tren ini masih menjadi bahan perdebatan publik. Yang jelas, Osaka telah menjadi tujuan utama dalam kisah migrasi yang dibentuk oleh pendidikan, ekonomi, dan peluang.

Source: ABCTVnews

News On Japan
MEDIA CHANNELS
         

Image of Mengapa Jumlah Migran Tiongkok di Osaka Meningkat dengan Cepat

Mengapa Jumlah Migran Tiongkok di Osaka Meningkat dengan Cepat

Dengan ekonomi Tiongkok yang terus mengalami penurunan berkepanjangan dan tekanan dari tarif Amerika Serikat yang dimulai sejak era Trump, semakin banyak warga Tiongkok berusaha meninggalkan negara mereka. Di antara berbagai tujuan, Jepang—khususnya Osaka—mengalami lonjakan jumlah imigran Tiongkok. Apa yang menjadi penyebab di balik tren ini?

Image of Terpidana Mati Jepang Meninggal karena Usia Tua

Terpidana Mati Jepang Meninggal karena Usia Tua

Kazuhiko Matsumoto, pria berusia 70 tahun yang dijatuhi hukuman mati karena membunuh dua pria di Filipina demi uang asuransi, meninggal dunia karena penyebab alami.

Image of Reformasi Penjara Jepang Beralih dari Disiplin Keras ke Rehabilitasi Narapidana

Reformasi Penjara Jepang Beralih dari Disiplin Keras ke Rehabilitasi Narapidana

Sistem penjara Jepang sedang mengalami perubahan besar seiring persiapan untuk memperkenalkan "hukuman penahanan," beralih dari kerja paksa tradisional yang menekankan hukuman menuju fokus baru pada rehabilitasi.

Image of Langit Akan Terbuka Kembali di Atas Nihonbashi

Langit Akan Terbuka Kembali di Atas Nihonbashi

Setelah 77 tahun, Tokyo akan mengembalikan langit biru ke Nihonbashi dengan mengalihkan jalan tol ke bawah tanah dan membayangkan kembali jantung bersejarah kota.