OSAKA, May 30 (News On Japan) - Kumpulan makam horizontal terbesar di Jepang terletak di Kota Kashiwara, Osaka bagian tenggara, dengan lebih dari 160 makam gua telah dikonfirmasi di kawasan yang kini dikenal sebagai Taman Makam Horizontal Takai. Jika termasuk area yang belum diselidiki, totalnya diperkirakan melebihi 200 ruang pemakaman.
Di dalam makam-makam ini terdapat contoh langka seni dinding terukir garis dari zaman kuno, serta peti mati batu. Siapa sebenarnya yang dimakamkan di sini, dan apa yang dapat dikatakan makam-makam ini tentang identitas dan zaman mereka?
Lokasinya hanya dua menit berjalan kaki dari Stasiun JR Takada. Pada zaman kuno, kawasan ini berkembang karena terletak dekat Sungai Yamato, jalur transportasi penting yang menghubungkan Osaka dan Nara. Makam-makam tersebut diukir ke lereng bukit antara abad ke-6 dan ke-7, memberikan gambaran langka tentang praktik pemakaman kuno.
Meski banyak makam ditutup demi pelestarian, situs ini dibuka untuk umum dua kali setahun. Gua-gua dibangun secara horizontal ke dalam lereng, pilihan arsitektur yang berbeda dibandingkan gundukan pemakaman vertikal yang lebih umum. Dari 162 makam yang diketahui, sekitar 20 di antaranya memiliki lukisan dinding terukir garis—beberapa telah direplikasi dengan cermat untuk dipertontonkan kepada publik.
Salah satu gambar paling terkenal adalah kapal, yang diyakini menggambarkan perjalanan arwah ke alam baka. Gambar lainnya menunjukkan seorang pria berpakaian tunik panjang yang diikat dengan sabuk dan celana lebar, dipercaya mencerminkan pakaian zaman Kofun. Diyakini lukisan ini dibuat pada saat pembangunan makam tersebut.
Di salah satu makam, ukiran menunjukkan sosok perempuan—mungkin istri atau pendeta wanita—yang melepas kepergian pria yang digambarkan di kapal. Makam-makam ini tidak hanya memberi informasi tentang ritual penguburan, tetapi juga tentang hubungan dan keyakinan orang-orang yang dimakamkan di sana.
Taman Takai memiliki luas 36.000 meter persegi—kira-kira seukuran Stadion Koshien. Situs ini pertama kali dilaporkan pada 1910-an, namun penggalian skala penuh baru dimulai setelah adanya ancaman pembangunan perumahan. Pada 1992, kawasan ini dikembangkan menjadi taman bersejarah agar masyarakat dapat merasakan nilai budaya situs tersebut.
Makam gua diukir dari batu tufa vulkanik, material yang kuat namun relatif mudah dibentuk. Beberapa makam memiliki peti mati batu—temuan yang sangat langka di wilayah Kansai. Beberapa peti ini dipahat langsung dari dasar batu, dengan tata letak mirip makam kuno dari Kyushu, menunjukkan kemungkinan perpindahan budaya atau migrasi dari pulau selatan.
Salah satu makam menunjukkan bahwa penggalian dilakukan oleh dua orang dengan keterampilan berbeda: satu sisi rapi dan simetris, sementara sisi lain tidak rata dan terlalu dalam. Kontras ini memberikan wawasan unik tentang proses kerja para penggali makam kuno, bahkan mungkin menunjukkan hubungan magang dan guru.
Para arkeolog percaya bahwa setiap makam digunakan kembali selama 30 hingga 40 tahun dan biasanya memuat tiga jenazah. Meskipun tidak ditemukan senjata atau baju zirah, ditemukan aksesori seperti manik-manik kaca dan anting, menunjukkan bahwa yang dimakamkan bukan prajurit, melainkan mungkin komunitas damai seperti perajin atau kalangan spiritual elit.
Di puncak taman terdapat makam gundukan bundar (enpun) yang lebih tua, berasal dari akhir abad ke-5—sekitar 100 tahun sebelum gua-gua horizontal dibuat. Gundukan ini mungkin berisi jasad bangsawan yang bermigrasi dari Baekje, kerajaan kuno Korea. Penggalian menemukan dua peti mati dan sejumlah barang pemakaman langka termasuk cermin perunggu dan alat pemanas Jepang kuno “hinoyui”—di mana hanya dua contoh utuh yang diketahui di Jepang.
Salah satu alat tersebut ditemukan di Kashiwara sendiri, dan yang dari puncak gundukan sangat mirip dengan benda pusaka nasional tersebut. Kemiripan barang-barang kuburan menunjukkan bahwa orang yang dimakamkan kemungkinan adalah tokoh kerajaan—mungkin permaisuri Raja Konki dari Baekje, yang menurut catatan Jepang pernah datang ke Jepang namun tidak pernah kembali.
Lokasi makam yang dekat dengan Sungai Yamato, yang mengalir ke Teluk Osaka dan terhubung ke Semenanjung Korea, membuat para peneliti berspekulasi bahwa tempat ini dipilih untuk secara simbolis memungkinkan arwah kembali ke Baekje melalui jalur air.
Kelompok makam Takai memberikan pandangan langka tentang keahlian, kepercayaan, dan hubungan internasional Jepang kuno. Pengunjung yang berjalan di taman hari ini dapat merasa seolah-olah melintasi waktu, dikelilingi oleh peninggalan orang-orang yang mengukir kenangan—dan harapan untuk akhirat—ke dalam batu.
Source: YOMIURI