KYOTO, Mar 16 (News On Japan) - Di Jepang, satu dari setiap 24 bayi lahir dari orang tua asing. Bagi banyak dari mereka, melahirkan dan membesarkan anak di negara yang asing bisa menjadi tantangan besar. Hambatan bahasa dan perbedaan budaya sering kali menyebabkan isolasi, yang terkadang berujung pada depresi sebelum atau setelah melahirkan.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk asing di Jepang, berbagai inisiatif mulai bermunculan untuk memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan.
Sebuah salon parenting yang diadakan di Kyoto baru-baru ini memberikan panduan bagi para orang tua asing yang baru pertama kali memiliki anak. Bahkan bagi mereka yang sudah terbiasa dengan kehidupan sehari-hari di Jepang, istilah medis yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan tetap menjadi tantangan.
"Bahkan bagi orang Jepang sendiri, istilah seperti 'kontraksi' atau 'tekanan panggul' tidak begitu familiar kecuali mereka pernah mengalami kehamilan. Bagi ibu asing, ini bisa menjadi lebih membingungkan," jelas Mura, yang membantu para ibu hamil. Berasal dari Indonesia, Mura pindah ke Jepang untuk kuliah dan kemudian menjadi warga negara Jepang, melahirkan dua anak di sana.
"Memiliki bayi memang luar biasa, tetapi bersama bayi baru lahir 24 jam sehari sangat melelahkan. Saya tidak mengalami kesulitan dengan bahasa Jepang, tetapi perbedaan budaya cukup berat. Saya sering bertanya-tanya, 'Kenapa harus dilakukan seperti ini di Jepang?'" kenangnya.
Terinspirasi oleh pengalamannya, Mura memulai kegiatan dukungan di Kyoto, di mana jumlah penduduk asing semakin meningkat. Salah satu inisiatifnya adalah fasilitas penitipan anak yang terbuka bagi orang tua dari semua kewarganegaraan, memungkinkan mereka beristirahat sementara staf mengawasi anak-anak mereka.
"Area ini untuk bermain dengan mainan, dan buku-buku boleh disobek atau dicoret-coret—semua itu bagian dari bermain," kata Kevin, seorang relawan di fasilitas tersebut. "Di sini, orang tua juga bisa tidur sejenak, bahkan hanya lima menit. Kami ingin menciptakan tempat di mana mereka bisa beristirahat sebentar dari tugas mengasuh anak."
Bagi banyak warga asing, keterbatasan akses informasi membuat layanan kesehatan sulit dijangkau. Seorang ibu asal Spanyol yang menikah dengan pria India sedang menantikan kelahiran anak pertamanya di Jepang. Melalui partisipasi di salon parenting, ia merasa lebih tenang.
Berinteraksi dengan orang lain dalam situasi serupa juga dapat membantu mencegah depresi pascapersalinan, yang kadang diperburuk oleh isolasi.
Disa, seorang ibu asal Indonesia dengan dua anak, mengalami kesulitan serupa ketika melahirkan di Jepang lima tahun lalu selama pandemi COVID-19. Karena pembatasan kunjungan yang ketat, ia harus menjalani persalinan sendirian—pengalaman yang sangat traumatis.
Ia juga meminta agar episiotomi tidak dilakukan kecuali benar-benar diperlukan secara medis, tetapi karena kendala komunikasi, prosedur tetap dilakukan tanpa pemahamannya sepenuhnya. "Saya tidak bisa menjelaskan keinginan saya dengan baik, dan prosedurnya sudah dilakukan sebelum saya menyadarinya," kenangnya.
Hambatan bahasa telah menyebabkan beberapa rumah sakit menolak menerima ibu hamil asing, menambah tantangan yang mereka hadapi. Sebagai tanggapan, beberapa institusi medis mulai memperkenalkan konsultasi multibahasa.
Sebuah rumah sakit di Kyoto telah bekerja sama dengan Kevin, yang tidak hanya menerjemahkan tetapi juga menjelaskan perbedaan budaya. Selama konsultasi prenatal dengan pasangan asal Nepal, seorang bidan mengalami kesulitan memahami kekhawatiran ibu yang sedang mengandung.
Kevin turun tangan, menjelaskan baik dari segi bahasa maupun konteks budaya, sehingga komunikasi menjadi lebih lancar. "Bukan hanya menerjemahkan kata-kata—memahami latar belakang budaya juga sangat penting," ujarnya.
Petugas kesehatan yang menghadiri seminar tentang perawatan maternitas bagi warga asing juga menyampaikan hal serupa. "Staf Jepang baik hati dan ingin membantu, tetapi sering kali kami menganggap bahwa menjelaskan sistem Jepang sudah cukup. Kita juga perlu memahami latar belakang orang tua asing dan sudut pandang mereka," ujar salah satu peserta.
Dengan meningkatnya populasi asing di Jepang, upaya untuk menyediakan dukungan kehamilan dan pengasuhan anak yang lebih inklusif dan sensitif terhadap budaya semakin mendesak. Seiring dengan semakin banyaknya komunitas yang berusaha menjembatani kesenjangan ini, harapannya adalah menciptakan masyarakat di mana semua orang tua—terlepas dari kewarganegaraan mereka—dapat membesarkan anak dengan penuh percaya diri.
Source: YOMIURI