KYOTO, May 03 (News On Japan) - Kyoto Notre Dame Women's University, sebuah perguruan tinggi khusus wanita yang bergengsi dengan sejarah lebih dari 60 tahun, mengumumkan bahwa mereka akan berhenti menerima mahasiswa baru mulai tahun ajaran berikutnya.
Keputusan ini menandai titik balik bagi universitas wanita di Jepang, banyak di antaranya sedang berjuang untuk bertahan di tengah penurunan angka kelahiran yang cepat.
Didirikan pada tahun 1961 oleh empat biarawati yang dikirim dari Amerika Serikat, universitas ini berfokus pada pembentukan wanita mandiri melalui program seperti pendidikan bahasa Inggris. Namun, jumlah pendaftar menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, universitas ini hanya menerima 186 mahasiswa dari kapasitas 330, mendorong pihak administrasi untuk mengambil keputusan sulit menghentikan perekrutan mahasiswa.
Ini adalah pertama kalinya sebuah universitas empat tahun di Prefektur Kyoto menghentikan perekrutan dan bergerak menuju penutupan. Para mahasiswa menyatakan keterkejutan dan kekecewaan, dengan beberapa alumni segera datang ke kampus untuk berpamitan. Seorang alumni yang kuliah bersama saudara perempuannya mengenang kehidupan kampus yang ketat namun bermakna, menyebutnya sebagai pengalaman yang tak terlupakan.
Masalah ini tidak hanya terjadi di Kyoto. Secara nasional, hampir 60% universitas swasta empat tahun di Jepang gagal memenuhi kuota pendaftaran tahun lalu. Universitas wanita sangat terdampak—sementara tiga dekade lalu ada hampir 100 institusi semacam itu, kini hanya tersisa 71. Para ahli menyebutkan bahwa siswa SMA yang berorientasi karier semakin memilih lingkungan pendidikan campuran, memberi tekanan pada perguruan tinggi khusus gender.
Beberapa institusi memilih untuk beradaptasi. Universitas Sonoda Gakuen di Amagasaki, Prefektur Hyogo, beralih menjadi institusi pendidikan campuran tahun ajaran ini setelah gagal menarik bahkan 30% target pendaftaran di jurusan bisnis tahun lalu. Tahun ini, universitas tersebut melampaui kuotanya. Para mahasiswa, baik pria maupun wanita, menyambut perubahan ini, dengan salah satu dari mereka mengatakan bahwa ia tidak akan mempertimbangkan sekolah itu jika tetap khusus wanita.
Namun, ada juga yang tetap berkomitmen pada nilai pendidikan khusus wanita. Universitas Wanita Konan di Kobe mengalami penurunan pendaftaran dua tahun lalu namun telah pulih sebagian. Para pengajar di sana percaya bahwa daya tarik institusi khusus wanita tetap kuat, terutama dalam membangun tanggung jawab bersama dan diskusi karier terbuka tanpa batasan gender.
Para ahli mencatat bahwa menjadi institusi campuran dapat memperluas peluang kerja—terutama di bidang seperti pendidikan anak usia dini, di mana kini lebih banyak pendidik pria yang terlibat. Namun, transisi ini tidak selalu berjalan mulus. Beberapa mahasiswa saat ini mengungkapkan ketidaknyamanan dengan perubahan tersebut, mengatakan bahwa mereka memilih sekolah karena lingkungan khusus wanita dan merasa tidak nyaman dengan perubahan mendadak.
Seiring semakin ketatnya persaingan untuk mendapatkan mahasiswa, universitas wanita menghadapi tekanan yang semakin besar untuk beradaptasi atau tutup. Meskipun ada yang berpendapat bahwa pendidikan campuran adalah satu-satunya jalan ke depan, yang lain menekankan pentingnya mempertahankan institusi yang secara historis memajukan pendidikan wanita di Jepang. Para ahli memperingatkan bahwa bahkan konversi ke pendidikan campuran tidak menjamin kelangsungan—investasi dalam program menarik dan fasilitas kampus tetap sangat penting.
Pada akhirnya, nasib universitas wanita menjadi isu nasional—bukan hanya soal penawaran dan permintaan, tetapi juga soal mempertahankan keberagaman dan nilai pilihan pendidikan dalam masyarakat yang terus berubah.
Source: KTV NEWS